WEBINAR TERKAIT PENANAMAN NILAI-NILAI IDEOLOGI PANCASILA DAN WAWASAN KEBANGSAAN MELALUI PENDIDIKAN MENENGAH
Badan Kesatuan Bangsa dan Politik Bidang Ideologi, Wawasan Kebangsaan dan Ketahanan Ekonomi, Sosial, Budaya, Agama mengikuti Webinar terkait Penanaman Nilai-Nilai Ideologi Pancasila Dan Wawasan Kebangsaan Melalui Pendidikan Menengah yang dilaksanakan oleh Kementerian Dalam Negeri melalui Ditjen Politik dan Pemerintahan Umum via zoom meeting dalam rangka mengoptimalkan tujuan pembangunan nasional dan membentuk generasi penerus bangsa yang menanamkan nilai-nilai Pancasila. Hadir dalam webinar tersebut antara lain Direktur Bina Ideologi, Karakter dan Wawasan Kebangsaan, Dirjen Pendidikan Anak Usia Dini, Pendidikan Dasar dan Pendidikan Menengah Kemendikbudristek, Komisioner KPAI, anggota DPRD, perwakilan dari Badan Kesbangpol, Dinas Pendidikan, Sekretariat Dewan, Dinas Kominfo, Biro Humas Provinsi, Bagian Humas Kabupaten/Kota, PGRI, Guru/tenaga pendidik Sekolah Menengah Pertama (SMP), Pers lokal, Organisasi Kemasyarakatan dan masyarakat umum seluruh Indonesia. (Jumat 15/10/21)
Dalam kata sambutannya Direktur Bina Ideologi, Karakter dan Wawasan Kebangsaan, Drs. Drajat Wisnu Setyawan, M.M menyampaikan bahwa pendidikan Pancasila yang diberikan pada siswa di sekolah menengah sangat penting mengingat bahwa teknologi yang semakin hari semakin terus berkembang pesat mengakibatkan para penerus bangsa lupa akan pentingnya Pancasila dalam kehidupan mereka.
“Pembelajaran Pancasila di sekolah sangat penting artinya karena merupakan proses dalam rangka pengembangan karakter manusia selanjutnya dan Pancasila merupakan jiwa dari seluruh rakyat Indonesia yang mengandung nilai luhur dan ajaran moralitas,” terang Drajat.
Direktur Jenderal PAUD, Dikdas, dan Dikmen, Jumeri, S.TP., M.Si. menjelaskan visi pendidikan Indonesia yaitu mewujudkan Indonesia maju yang berdaulat, mandiri, dan berkepribadian melalui terciptanya Pelajar Pancasila yang bernalar kritis, kreatif, mandiri, beriman, bertakwa kepada Tuhan YME, dan berakhlak mulia, bergotong royong, dan berkebinekaan global.
“Pelajar Pancasila bisa menjadi agen perubahan yang membawa perubahan positif di lingkungan sekolah. Bersama-sama dengan perangkat sekolah, Pelajar Pancasila menciptakan lingkungan sekolah menjadi rumah kedua yang bebas dari radikalisme, intoleransi, kekerasan dan narkoba” ujar Jumeri.
Sementara itu Komisioner KPAI, Retno Listyarti, M.Si menyampaikan ada beberapa tantangan yang dihadapi dalam membangun wawasan kebangsaan di sekolah yang pertama tingginya angka perundungan/kekerasan baik fisik, psikis maupun seksual di satuan pendidikan. Data KPAI menunjukkan angka fluktuatif dan di masa pandemi pembullyan berpindah ke dunia maya, berikutnya adalah pembelajaran di kelas yang tidak terbuka terhadap pergulatan pendapat dan cara pandang, yang ketiga adalah pembelajarannya tidak didisain menghargai perbedaan, berikutnya para siswa dan guru terjebak pada “intoleransi pasif”, yaitu perasaan dan sikap tidak menghargai akan perbedaan (suku, agama, ras, kelas sosial, pandangan keagamaan dan pandangan politik), walaupun belum berujung tindakan kekerasan. Namun, bisa terlihat dari postingan di media sosial mereka. Juga ada tantangan lain sikap siswa yang terbuka terhadap praktik intoleransi mulai berkembang di kelas ketika diajar oleh guru yang membawa pandangan politik pribadinya ke dalam kelas. Nah masuknya bibit radikalisme ke sekolah karena sekolah cenderung tidak memperhatikan secara khusus dan ketat perihal kegiatan kesiswaan, apalagi terkait keagamaan. Berikutnya ada ditambah intervensi alumni dan pemateri yang diambil dari luar sekolah tanpa screening oleh guru atau kepala sekolah. Berikutnya masuknya pemikiran yang membahayakan kebinekaan ini bisa dari alumni melalui organisasi sekolah atau ekstrakurikuler, pemateri kegiatan kesiswaan yang bersifat rutin (seperti mentoring dan kajian terbatas).
“KPAI mendorong kebijakan sekolah yang berwawasan kebangsaan. Nah kebijakan ini adalah yang pertama sekolah berkehendak untuk mempromosikan relasi setara yang positif, yang kedua sekolah mampu mendefinisikan dengan ringkas dan mudah dipahami mengenai definisi perundungan/bullying, pelecehan, diskriminasi, stereotipe, penajisan, pengkambinghitaman, dll, kemudian sebaiknya adanya deklarasi warga sekolah terkait pengakuan dan penghargaan terhadap hak asasi individu, harkat dan martabat kemanusiaan, yang harus dilakukan sekolah antara lain sistem pengaduan yang dibangun sekolah untuk menghadapi masalah-masalah perundungan, pelecehan dan kekerasan lainnya, kemudian sekolah juga memiliki rencana untuk mengevaluasi kebijakan sekolah di masa mendatang” lanjutnya lagi.